Minggu, 17 April 2016

Contoh Kasus

KASUS HUMANISTIK
Kasus:
Seorang mahasiswa baru berinisial Z kesulitan menyesuaikan diri sebagai mahasiswa. Z berusia 19 tahun, mahasiswa tingkat 2, mengalami ancaman DO. Dari hasil evaluasi  beberapa semester pertamaternyata nilai dari semua mata kuliah yang di ambilnya tidak memenuhi persyaratan lulus ke tingkat 2.
Seorang teman dari jursan lain K.J memeberitahu satu hal dengan tujuan agar Z  bisa mengejar nilainya, dengan belajar yang lebih aktif lagi agar tidak terancam DO.
Dari hasil evaluasi 4 mata kuliahnya, Z 
memperoleh beberapa nilai C dan nilai D. Dia sangat menyadari bahwa dia akan sulit untuk mendapat nilai yang baik untuk beberapa mata kuliahnya tersebut.
Kenyataannya ini membuat Z merasa sangat stress, hingga kadang dia merasa ingin bunuh diri, karena merasa takut gagal.Dalam pergaulan dengan teman-temannya Z selalu merasa minder. Ketika kuliah di kelas besar, dia selalu memilih duduk di barisan yang paling belakang dan dia jarang bergaul dengan teman-teman seangkatannya. Dia selalu merasa dirinya tertinggal, karena menurutnya Z selalu berpikir negatif tentang dirinya.
Akibatnya Z selalu menyendiri dan lebih senang berada menyendiri dan langsung pulang ke rumah jika selesai kuliah daripada bergaul dengan teman-temannya.Z lebih nyaman ketika masih duduk di bangku SMA, dimana kelasnya lebih kecil dan hubungan di antara siswa di rasakannya lebih akrab.
Di rumah Z, merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara (keempatnya Lelaki). Kakaknya yang pertama berusia 4 tahun lebih tua darinya, kakanya yang kedua berusia 2 tahun lebih tua darinya, dan yang terakhir adiknya berusia 3 tahun lebih muda darinya dan mempunyai prestasi akademis yang cukup “cemerlang” di setiap yang dia lakukan. Walaupun orangtua tidak pernah membandingkan kemampuan ke empat anaknya, tetapi Z merasa bahwa saudara kandungnya mempunyai kelebihan di segala bidang, di bandingkan dengan dirinya.


Analisa:
Menurut aliran humanistik-eksistensial kasus “Z” bukan hanya sekedar masalah yang bersifat individual, tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat atau lingkungan sosialnya. Jika “Z” melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang dirinya sendiri dengan yang diinginkannya maka akan muncul perasaan tidak kuat dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan atau anxiety.
Jadi, menurut pandangan humanist-eksistensialis kasus “Z” terletak pada konsep diri; yang terjadi sehubungan dengan adanya konflik antara konsep diri yang sesungguhnya (real self) dengan diri yang diinginkan (ideal self). Hal ini muncul sehubungan dengan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari dikehidupan selanjutnya, ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif.
Menurut teori humanistik-eksistensial yang melihat kasus “Z” sebagai hasil konflik diri yang terkait dengan keadaan sosial dimana pengembangan diri menjadi terhambat, maka teori ini lebih menyarankan untuk membangun kembali diri yang rusak (damaged self). Tehniknya sering disebut sebagai client centered therapy yang berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang positif yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang kondusif untuk mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin.
Setiap permasalahan yang dialami oleh setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah yang paling mengerti tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, “Z” sendirilah yang paling berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang mengganggu dirinya. Karena menurut pandangan teori ini sebagai hasil dari belajar (belajar menjadi cemas) maka untuk menanganinya perlu dilakukan pembelajaran ulang agar terbentuk pola perilaku baru. Tehnik yang digunakan adalah systematic desentisitization, yaitu mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep hirarkhi ketakutan, menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang lebih kompleks.
Pemberian reinforcement (penguat) juga dapat digunakan dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara pemberian reward – jika ia memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan ataupun punishment – jika tidak ada perubahan perilaku atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana perubahan perilaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About this blog

About

Followers

About Me

Foto saya
Music speaks when words can't